Hybrid IT infrastructure: Pengertian, cara kerja dan strateginya
Kini perusahaan perlahan beralih ke Hybrid IT Infrastructure untuk mendukung aplikasi, workload yang dinamis, dan kebutuhan bisnis. Metode ini menggabungkan berbagai tipe infrastruktur ke dalam satu arsitektur terpusat.
Namun, di sisi lain kompleksitasnya juga meningkat. Infrastruktur tersebar membuat visibilitas lebih sulit, integrasi aplikasi menjadi tantangan, dan risiko keamanan bisa bertambah bila tidak dikelola dengan tepat. Karena itu, memahami cara kerja Hybrid IT, risiko yang menyertainya, serta cara mengoptimalkan lingkungan hybrid menjadi langkah penting bagi Anda yang ingin memaksimalkan manfaat arsitektur ini.
Apa itu hybrid IT infrastructure?
Hybrid IT Infrastructure adalah pendekatan pengelolaan IT yang menggabungkan berbagai tipe infrastruktur baik on-premises, public cloud, private cloud, hingga layanan SaaS dalam satu arsitektur. Berbeda dengan model tradisional yang hanya mengandalkan data center lokal, Hybrid IT memungkinkan perusahaan memilih lokasi terbaik untuk setiap workload sesuai kebutuhan performa, keamanan, dan efisiensi biaya.
Pada dasarnya, Hybrid IT memberikan kontrol dari on-prem dan fleksibilitas dari cloud. Model ini memungkinkan perusahaan:
Menjalankan aplikasi sensitif di infrastruktur internal yang lebih terkontrol
Memindahkan workload tertentu ke cloud untuk mendapatkan skalabilitas cepat
Menggunakan layanan SaaS untuk kebutuhan operasional yang tidak memerlukan server lokal
Mengintegrasikan berbagai sistem tersebut agar tetap bekerja sebagai satu kesatuan
Komponen utama hybrid IT infrastructure
Hybrid IT Infrastructure terdiri dari berbagai komponen yang bekerja sama untuk membentuk satu ekosistem TI yang fleksibel, scalable, dan terintegrasi. Setiap komponen memiliki peran yang berbeda dalam mendukung workload, keamanan, dan operasional harian perusahaan. Berikut di antaranya:
1. On-premises infrastructure
Infrastruktur lokal tetap menjadi elemen penting dalam Hybrid IT karena memberikan kontrol penuh, keamanan yang dapat dikustomisasi, dan latensi rendah untuk aplikasi yang membutuhkan performa konsisten. Perusahaan biasanya masih mengandalkan on-prem untuk sistem kritikal atau aplikasi legacy yang tidak mudah dipindahkan ke cloud.
Kapan model on-premises masih diperlukan:
Aplikasi kritis yang wajib selalu tersedia (low latency, high reliability)
Sistem legacy atau aplikasi custom yang tidak kompatibel dengan cloud
Persyaratan regulasi atau compliance yang melarang data keluar dari lokasi tertentu
Integrasi dengan perangkat fisik (IoT, mesin industri, fingerprint, CCTV)
Workload dengan pola penggunaan stabil dan predictable.
2. Public cloud
Public cloud seperti AWS, Azure, dan Google Cloud menyediakan resource yang dapat diskalakan dengan cepat tanpa investasi hardware. Lingkungan ini ideal untuk aplikasi modern, pengembangan cepat, dan workload yang berubah-ubah. Public cloud juga menghadirkan ratusan layanan siap pakai mulai dari database hingga AI yang membantu tim TI mengurangi pekerjaan administratif dan fokus pada inovasi.
Kapan memanfaatkan public cloud dalam Hybrid IT:
Workload yang butuh elastisitas tinggi
Pengembangan aplikasi baru (Dev/Test)
Layanan managed database atau AI
Deploy cepat tanpa konfigurasi server rumit
3. Private cloud
Private cloud menggabungkan fleksibilitas cloud dengan kontrol penuh, sehingga cocok bagi organisasi yang membutuhkan keamanan dan kepatuhan yang ketat. Tipe ini memungkinkan konfigurasi yang lebih spesifik, integrasi lebih dalam dengan sistem internal, dan stabilitas performa yang lebih dapat diprediksi. Private cloud juga umum digunakan untuk aplikasi yang tidak bisa berpindah ke public cloud karena alasan regulasi.
Kapan menggunakan Private Cloud:
Aplikasi yang mengolah data sensitif
Beban kerja stabil dengan pola penggunaan predictable
Kebutuhan konfigurasi yang sangat spesifik
Kebijakan internal yang membatasi penggunaan public cloud
4. Software-as-a-Service (SaaS)
SaaS mempermudah operasional tanpa perlu mengelola server dan patching, sehingga tim TI bisa menghemat waktu dan biaya pemeliharaan. Aplikasi SaaS juga biasanya lebih cepat diadopsi karena pengalaman pengguna yang konsisten dan dukungan integrasi yang luas. Ini menjadikan SaaS salah satu komponen paling dominan dalam Hybrid IT.
Kapan pemakaian SaaS dalam Hybrid IT:
Tidak membutuhkan kontrol server yang dalam
Tim ingin go-live project cepat
User tersebar di banyak lokasi
Butuh integrasi mudah dengan aplikasi cloud lain
5. Containers & microservices
Teknologi container memungkinkan aplikasi berjalan konsisten di berbagai environment tanpa konflik dependency. Ketika dikombinasikan dengan arsitektur microservices, aplikasi menjadi lebih modular, mudah dikembangkan, dan lebih cepat diperbarui. Containers juga mendukung transisi dari aplikasi legacy ke aplikasi cloud-native secara bertahap.
Kapan hybrid untuk containers/microservices:
Aplikasi modern dengan dependency kompleks
Kebutuhan scaling granular (per layanan, bukan per VM)
Integrasi API antar sistem
Observability lintas container dan node
Mengapa hybrid IT semakin populer?
Adopsi Hybrid IT terus meningkat karena memberikan keseimbangan yang ideal antara fleksibilitas cloud dan kontrol infrastruktur on-premises. Model ini membantu organisasi menghadapi kebutuhan bisnis yang cepat berubah, modernisasi aplikasi, tuntutan keamanan, hingga optimalisasi biaya, tanpa harus sepenuhnya meninggalkan infrastruktur yang sudah berjalan stabil.
1. Fleksibilitas menempatkan workload
Hybrid IT memungkinkan perusahaan menempatkan setiap aplikasi di lingkungan yang paling sesuai dengan karakteristiknya. Sistem yang membutuhkan kontrol ketat, latensi rendah, atau penyimpanan internal tetap berjalan di data center. Sementara itu, aplikasi modern seperti analitik, API, dan layanan digital dapat dieksekusi di public cloud untuk mendapatkan skalabilitas dan kecepatan deploy.
2. Skalabilitas cepat tanpa investasi besar
Menggunakan cloud, organisasi bisa menambah kapasitas server, storage, atau database dalam hitungan menit tanpa proses pengadaan hardware yang lama. Ini sangat bermanfaat untuk workload musiman, permintaan pelanggan yang tidak terduga, atau proyek yang membutuhkan lingkungan baru dengan cepat.
3. Efisiensi biaya yang lebih terukur
Menggabungkan on-prem dan cloud memungkinkan perusahaan mengoptimalkan struktur biaya. Workload yang stabil dan predictable dapat dijalankan di on-prem untuk memaksimalkan investasi hardware yang sudah ada, sementara workload dengan kebutuhan dinamis dapat dipindahkan ke cloud.
4. Modernisasi aplikasi bertahap
Tidak semua aplikasi bisa atau harus ditransfer langsung ke cloud. Hybrid IT mendukung modernisasi bertahap, di mana aplikasi legacy tetap berjalan di data center sambil bagian lain seperti API, microservices, event streaming, atau komponen frontend—dibangun menggunakan layanan cloud.
5. High Availability
Dengan infrastruktur yang tersebar di beberapa lingkungan, perusahaan memiliki lebih banyak jalur untuk memastikan layanan tetap tersedia. Jika data center mengalami gangguan, workload dapat dipindahkan ke cloud atau site lain. Redundansi semacam ini membantu mencegah downtime dan meningkatkan resiliensi sistem, terutama untuk aplikasi bisnis yang kritikal.
6. Mendukung workforce yang tersebar
Hybrid IT menjadi fondasi yang ideal untuk perusahaan dengan tim hybrid atau remote. Aplikasi on-prem dapat diakses melalui VPN atau secure gateway, sementara aplikasi cloud dapat diakses langsung melalui internet dengan kontrol identitas yang tepat. Kombinasi ini memastikan pengalaman pengguna yang konsisten, aman, dan mudah diakses dari berbagai lokasi.
Bagaimana strategi menerapkan hybrid IT yang efektif?
Mengelola Hybrid IT bukan sebatas menggabungkan on-premises dan cloud, perusahaan perlu memastikan seluruh komponen bekerja sebagai satu ekosistem yang aman, efisien, dan mudah dikelola.
Berikut strategi utama yang dapat membantu organisasi memaksimalkan manfaat Hybrid IT dan mengurangi kompleksitasnya.
1. Bangun standarisasi governance & operasional TI

Hybrid IT akan sulit dikelola jika setiap environment berjalan dengan aturan berbeda. Standarisasi memastikan semua platform server lokal, VM, cloud, container, hingga SaaS mengikuti pola kerja yang konsisten. Tanpa standar yang jelas, risiko misconfiguration meningkat dan troubleshooting menjadi tidak efisien. Menariknya menggunakan solusi ITOM yang tepat dapat membantu menjaga konsistensi konfigurasi di berbagai model infrastruktur.
Yang perlu distandarisasi:
Konfigurasi server, VM, container, dan resource cloud
Patching & update rutin di seluruh environment
Kebijakan keamanan
Monitoring dan alerting yang mengikuti baseline yang sama
2. Mapping aset, workload, dan dependency

Mapping yang lengkap membantu menghilangkan blind spot dalam Hybrid IT. Ketika aplikasi tersebar di on-prem, cloud, dan SaaS, dependency sering kali berubah tanpa sepengetahuan tim TI. Dengan dokumentasi yang jelas, tim dapat memahami alur layanan dan menemukan bottleneck lebih cepat. Platform monitoring terpadu seperti OpManager Plus mempermudah visualisasi dependency jaringan, aplikasi, dan server dalam satu map layanan.
Pemetaan yang diperlukan:
Lokasi aplikasi
Dependency database, API, microservices
Penggunaan resource
Model akses
3. Terapkan keamanan berbasis identitas (Identity-First Security)

Dalam Hybrid IT, identitas menjadi keamanan paling penting. Mengamankan akses pengguna dan administrator mencegah penyalahgunaan credential salah satu penyebab insiden paling umum. Platform seperti AD360,PAM360, atau ADManager Plus dapat membantu mengatur hak akses, menerapkan least privilege, dan memantau aktivitas kritis di seluruh environment.
Prinsip yang harus diterapkan:
MFA/2FA
Least privilege & RBAC
Segmentasi jaringan
Audit aktivitas pengguna dan konfigurasi
4. Optimalkan biaya cloud

Biaya cloud sering meningkat tanpa kontrol yang ketat. Menggunakan Hybrid IT, perusahaan harus memiliki mekanisme untuk meninjau penggunaan cloud secara berkala. Layanan monitoring seperti Site24x7 atau integrasi cloud monitoring di Applications Manager dapat membantu memantau resource usage, identifikasi instance idle, dan memetakan biaya berdasarkan aplikasi. Selain itu, menggunakan tool seperti CloudSpend juga dapat membantu mengelola spending lebih mudah.
Langkah optimasi biaya:
Identifikasi resource idle
Gunakan autoscaling
Review storage tier
Gunakan tagging biaya
5. Tingkatkan observability antar infra

Full stack monitoring dan observability menjadi poin utama operasional Hybrid IT. Metrics, logs, dan traces memungkinkan tim TI memahami konteks masalah dengan cepat. Tools seperti ManageEngine Applications Manager atau Site24x7 Full-Stack Observability menyediakan insight mendalam mulai dari performa aplikasi, API, database, hingga user experience.
Komponen observability:
Metrics
Logs
Traces
6. Automasi operasional untuk mengurangi human error
Automasi mempercepat proses dan mengurangi risiko kesalahan konfigurasi. Hybrid IT membutuhkan alur kerja otomatis untuk provisioning, deployment, dan remediation. Endpoint Central, ServiceDesk Plus, dan fitur automasi di OpManager dapat membantu mengotomatisasi patching, workflow, hingga tindakan awal terhadap alert.
Yang dapat diotomasi:
Provisioning resource
Patching
Deployment aplikasi
Remediasi otomatis
7. Lakukan capacity planning berbasis data

Data historis sangat penting untuk menentukan kebutuhan kapasitas jangka panjang. Hybrid IT membutuhkan kapasitas terukur agar performa stabil. OpManager Plus dan Applications Manager menyediakan tren performa jangka panjang yang membantu perencanaan kapasitas tanpa perlu menebak.
Yang harus dilakukan:
Analisis tren resource
Prediksi beban puncak
Evaluasi performa
8. Kembangkan strategi disaster recovery
Disaster recovery yang efektif memanfaatkan kombinasi on-prem dan cloud. Backup dan failover harus fleksibel untuk berpindah antar environment. RecoveryManager Plus membantu organisasi menyiapkan backup granular dan pemulihan cepat untuk Active Directory, Exchange, SharePoint, hingga Microsoft 365 komponen yang sering menjadi inti operasi Hybrid IT.
Apa saja komponennya:
Backup lintas platform
Failover otomatis
Replikasi database
Runbook pemulihan
9. Evaluasi integrasi aplikasi secara konsisten
Integrasi antara sistem legacy, cloud-native, SaaS, dan microservices sangat penting. Ketidaksesuaian versi API atau middleware dapat memicu gangguan besar. Applications Manager membantu memantau dependensi aplikasi dan API untuk memastikan semua komponen bekerja selaras.
Yang perlu dievaluasi:
API & middleware
Komunikasi antar lingkungan
Dependency aplikasi
Autentikasi & SSO
Risiko utama dalam hybrid IT
Meskipun memberikan fleksibilitas dan skalabilitas besar, Hybrid IT juga membawa risiko operasional dan keamanan yang perlu diperhatikan sejak awal. Kompleksitas yang meningkat, ekosistem yang terdistribusi, dan dependency yang tersebar membuat organisasi perlu memiliki kontrol yang kuat untuk menjaga stabilitas dan keamanan sistem.
Berikut risiko utama yang sering muncul dalam pengelolaan Hybrid IT:
1. Minimnya visibilitas
Ketika aplikasi berjalan di berbagai platform, on-prem, multi-cloud, hingga SaaS tim TI sering kesulitan mendapatkan gambaran end-to-end. Visibilitas yang terbatas dapat menyebabkan keterlambatan mendeteksi insiden dan memperpanjang proses troubleshooting.
Cara mengatasi: pastikan ada mekanisme monitoring holistik yang mampu memetakan performa jaringan, server, aplikasi, dan cloud dalam satu workflow yang terintegrasi.
2. Risiko Misconfiguration
Banyaknya platform berarti banyaknya konfigurasi yang harus dijaga. Misconfiguration pada firewall, cloud policy, storage, atau identity setting dapat membuka celah keamanan atau menyebabkan gangguan layanan.
Cara mengatasi: gunakan baseline konfigurasi yang konsisten, kontrol perubahan (change management), serta audit rutin untuk memastikan setiap perubahan terdeteksi dan tervalidasi.
3. Kompleksitas keamanan & akses pengguna
Identitas pengguna tersebar di berbagai sistem: directory on-prem, aplikasi cloud, sampai SaaS. Jika tidak dikelola dengan baik, ini meningkatkan risiko credential theft, privilege abuse, dan akses yang tidak terpantau.
Cara mengatasi: terapkan prinsip least privilege, MFA, kontrol akses berbasis identitas, dan audit aktivitas untuk menjaga akses tetap aman di seluruh environment.
4. Biaya Cloud yang Tidak Terkendali
Hybrid IT memudahkan scaling, tetapi tanpa kontrol biaya yang ketat, perusahaan dapat mengalami pemborosan signifikan. Resource idle, instance oversize, dan storage berlebih sering tidak terdeteksi.
Cara mengatasi: lakukan evaluasi biaya secara berkala, pantau penggunaan resource secara real-time, dan lakukan rightsizing untuk memastikan cloud digunakan secara cost-efficient.
5. Integrasi Aplikasi Rentan Error
Aplikasi legacy, layanan cloud-native, API, dan microservices harus terhubung dengan stabil. Ketidakcocokan versi API, latency jaringan, atau perubahan dependency dapat menyebabkan degradasi performa.
Cara mengatasi: pastikan ada mekanisme pemantauan dependency, pengujian integrasi berkala, dan dokumentasi arsitektur aplikasi yang selalu diperbarui.
6. Meningkatnya risiko downtime
Dengan banyaknya titik kegagalan, downtime di satu environment dapat memicu dampak berantai. Ini umum terjadi ketika organisasi belum memiliki arsitektur resilient dan belum menerapkan failover lintas platform.
Cara mengatasi: rancang strategi DR yang mempertimbangkan multi-lingkungan, lakukan backup reguler, test failover secara berkala, dan pastikan jalur redundansi benar-benar bekerja.
Siap mengelola hybrid IT Anda dengan tepat?
Hybrid IT membuka peluang besar untuk meningkatkan fleksibilitas, efisiensi biaya, dan modernisasi aplikasi tanpa harus meninggalkan infrastruktur existing. Namun, keberhasilan Hybrid IT sangat bergantung pada strategi pengelolaan yang matang mulai dari standarisasi operasional, observability, keamanan berbasis identitas, hingga perencanaan kapasitas dan disaster recovery.
Perusahaan yang ingin memaksimalkan Hybrid IT perlu membangun visibilitas menyeluruh, memperkuat keamanan, dan mengintegrasikan proses operasional secara konsisten di seluruh environment. Explore solusi kami dan dapatkan layanan tepat sekarang juga!